"Siapa
Sahabatmu?"
Dahulu pertanyaan seperti itu selalu
membuat senyum saya terkulum, lalu ragu-ragu menyebut nama mereka yang 'dekat'
dengan saya. Dulu saya juga tidak tahu sahabat itu bagaimana. Katanya yang
selalu menemani hari kita. Kalau yang seperti itu, ada banyak! Tidak sepenuhnya
ada di 'samping' saya sih, sebab saya lebih suka 'sendiri'
Saya memang lebih suka melakukan
apa-apa sendiri, terasa lebih bebas dan tidak terikat. Semasa sekolah, saya
sering melihat 2 orang teman saya yang katanya bersahabat, ke mana-mana berdua.
Ke kantin, ke kelas lain, ke perpustakaan, hingga ke kamar mandi juga berdua.
Saya tidak suka diikuti dan mengikuti terus seperti itu.
Yang saya lihat dari teman-teman
saya yang bersahabat, mereka akhirnya jadi sering bohong untuk mempertahankan
hubungan mereka. Agar hati sahabatnya senang, harus sering dipuji. Walaupun
yang dilakukan salah, pujian tetap mengalir.
Padahal kenyataannya, sahabatnya
sering tidak fokus dengan pelajaran sekolah. PR juga jarang dikerjakan karena
keasyikan kencan. Nilai kian merosot tajam. Tetapi bukannya mengingatkan untuk
lekas 'bubaran', sahabatnya malah mendukung untuk terus bersama si B, sang
biang keladi.
Sahabat yang sering
diagung-agungkan, nyatanya tidak selalu 'baik' hingga akhir. Banyak juga yang
akhirnya 'menusuk dari belakang'. Hubungan persahabatan runyam karena ego
masing-masing. Juga keinginan untuk merampas yang menjadi milik sahabat.
Hubungan yang terlalu dekat memaksa untuk 'berbagi', termasuk merasakan 'rasa' yang
sama pada orang yang sama. Mungkin, persahabatan demikian memang belum pantas
disebut sebagai 'sahabat', baru sekedar teman dekat.
Seiring bertambahnya usia, saya
menyadari bahwa sahabat sejati saya ialah amal perbuatan saya. Sahabat yang
selalu ada di samping saya, menemani setiap langkah saya serta benar-benar
memberikan poin mana yang benar dan salah, ya ... amal. Sahabat saya ini jujur,
kalau saya berbuat salah, catatan di sebelah kiri benar-benar bertambah. Ia
tidak akan berbohong dan menjadi pengingat saya selalu.
Sahabat saya memang tidak bisa
dipeluk saat saya sedih dan butuh 'sandaran', tetapi ia lekas membuat saya
bahagia dengan sekedar mengingatnya. Berbagi, itulah yang saya lakukan ketika
kemuraman hati melanda. Berbagi apa saja, entah sedikit rezeki saya,
kisah-celoteh saya di jejaring sosial, maupun doa pada sang-pembuat-galau.
Bertambahnya amal baik secara otomatis membuat lengkungan indah di wajah saya,
dalam keadaan seburuk apapun hati saya ini.
Amal ialah penyemangat saya.
Karenanya saya bisa memilih mana yang harus dan tidak boleh saya lakukan. Juga
menjadi acuan saya dalam mengisi hari-hari saya. Dalam keadaan apapun, amal
tidak akan meninggalkan saya sedetik pun. Saya jadi tidak merasa sendiri sebab
Allah dan amal selalu menemani.
Sayangnya, saya baru sadar akan
kehadiran sahabat saya ini beberapa tahun terakhir. Ketika itu, saya merasa
putus asa karena telah salah langkah. Saya ingin berbagi cerita pada seseorang,
tetapi takut mereka malah mencerca saya. Hanya bisa menangis dan menangis
menghadapNYA. Kemudian saya menuliskan nama saya, dan baru tersadar bahwa ada
seorang sahabat di sisi saya, sahabat nyata walau bentuk nyatanya bukan
manusia. Ia ada di nama terakhir saya
0 komentar:
Posting Komentar